Saya tidak kenal langsung dengan pak Ino Yuwono. Saya hanya kenal nama.
Mama saya kenal beliau. Beberapa orang yang saya kenal juga kenal beliau.
Diawali dengan status YM @ardinouv mengabarkan meninggalnya pak Ino Yuwono, bersambung dengan saya yang mengabari mama, dan dilanjutkan dengan serangkaian kabar-mengabar lewat telpon. Mama ingin memastikan berita itu karena mama yang masih belum percaya dengan berita yang saya dapat. Memang sih, beberapa bulan lalu mama sempat menyambangi beliau yang masuk rumah sakit karena penyakit jantungnya. Tapi tetap saja mama tidak percaya.
Di timeline twitter saya penuh tweet dengan tagar #InoYuwono yang kebanyakan dari pak @bukik dan hasil retweet beliau. Saya baca satu-satu hasil pencarian tagar #InoYuwono. Saya memang tidak mengenal langsung pak Ino, tapi lewat tweet yang membanjiri timeline dan belasan artikel di blog tentang pak Ino, saya jadi mulai merasa mengenal beliau.
Sepertinya pak Ino itu tipe orang yang bisa meninggalkan kesan yang mendalam pada setiap orang yang pernah beliau temui. Entah itu negatif (banyak yang bilang beliau dosen strict dan killer) ataupun positif (banyak juga yang menghormati dan sayang banget dengan beliau). Yang manapun, pasti memberikan kesan mendalam.
Sepertinya pak Ino itu tipe orang yang lebih memilih menikmati hidup dengan caranya. Walau sudah tahu jantungnya tidak begitu sehat, tetap saja rokoknya tidak pernah lepas. Belum lagi mama cerita kalau pak Ino waktu muda dulu bilang kalau tua nanti semoga tidak sakit diabetes, matinya lama, larangannya banyak, jadi tidak bisa menikmati hidup; mending sakit jantung, matinya cepat, ga pake sakit.
Kamis, saya dan mama akhirnya sempat melayat ke persemayaman sementara pak Ino di Adiyasa. Bertemu dengan teman mama, mereka berbagi sedikit cerita, sementara saya makan nasi contong pelan-pelan. Banyak cerita, tapi yang menarik adalah delapan W bikin saya penasaran. Wareg, waras, wasis, wani, wismo, widodo, weling, wangsul. Sayangnya saya kurang tahu bisa ngobrol delapan W ini dengan siapa. Orang yang bikin istilah delapan W ini saja sudah tidak ada.
Hari ini, pak Ino dikremasi. Hari ini juga saya baca surat wasiat pak Ino. Menyentuh, tapi juga menohok.
Membuat saya jadi berpikir lagi tentang tujuan hidup.
Berpikir lagi tentang bagaimana saya menjalani hidup.
Berpikir lagi bagaimana saya ingin dikenang saat saya mati nanti.
Mama saya kenal beliau. Beberapa orang yang saya kenal juga kenal beliau.
Diawali dengan status YM @ardinouv mengabarkan meninggalnya pak Ino Yuwono, bersambung dengan saya yang mengabari mama, dan dilanjutkan dengan serangkaian kabar-mengabar lewat telpon. Mama ingin memastikan berita itu karena mama yang masih belum percaya dengan berita yang saya dapat. Memang sih, beberapa bulan lalu mama sempat menyambangi beliau yang masuk rumah sakit karena penyakit jantungnya. Tapi tetap saja mama tidak percaya.
Di timeline twitter saya penuh tweet dengan tagar #InoYuwono yang kebanyakan dari pak @bukik dan hasil retweet beliau. Saya baca satu-satu hasil pencarian tagar #InoYuwono. Saya memang tidak mengenal langsung pak Ino, tapi lewat tweet yang membanjiri timeline dan belasan artikel di blog tentang pak Ino, saya jadi mulai merasa mengenal beliau.
Sepertinya pak Ino itu tipe orang yang bisa meninggalkan kesan yang mendalam pada setiap orang yang pernah beliau temui. Entah itu negatif (banyak yang bilang beliau dosen strict dan killer) ataupun positif (banyak juga yang menghormati dan sayang banget dengan beliau). Yang manapun, pasti memberikan kesan mendalam.
Sepertinya pak Ino itu tipe orang yang lebih memilih menikmati hidup dengan caranya. Walau sudah tahu jantungnya tidak begitu sehat, tetap saja rokoknya tidak pernah lepas. Belum lagi mama cerita kalau pak Ino waktu muda dulu bilang kalau tua nanti semoga tidak sakit diabetes, matinya lama, larangannya banyak, jadi tidak bisa menikmati hidup; mending sakit jantung, matinya cepat, ga pake sakit.
Kamis, saya dan mama akhirnya sempat melayat ke persemayaman sementara pak Ino di Adiyasa. Bertemu dengan teman mama, mereka berbagi sedikit cerita, sementara saya makan nasi contong pelan-pelan. Banyak cerita, tapi yang menarik adalah delapan W bikin saya penasaran. Wareg, waras, wasis, wani, wismo, widodo, weling, wangsul. Sayangnya saya kurang tahu bisa ngobrol delapan W ini dengan siapa. Orang yang bikin istilah delapan W ini saja sudah tidak ada.
Hari ini, pak Ino dikremasi. Hari ini juga saya baca surat wasiat pak Ino. Menyentuh, tapi juga menohok.
Membuat saya jadi berpikir lagi tentang tujuan hidup.
Berpikir lagi tentang bagaimana saya menjalani hidup.
Berpikir lagi bagaimana saya ingin dikenang saat saya mati nanti.
Comments
Post a Comment