"Mbak, saya mau berhenti kerja, ya.."
"Lho, kenapa, Lin?" tanyaku pada Lina, yang biasa membantuku membuat cilok.
"Aku mau nikah, mbak."
"Lah baru punya KTP, kok wis arep rabi (kok sudah mau nikah)," candaku. Setahuku dia baru lulus SMK.
"Hehe.. iya, mbak. Orang tuanya mas Agus nyuruh cepetan nikah. Biar ga jadi omongan orang."
"Bukannya kapan hari baru cerita kalo putus sama Agus?"
"Habis lebaran kemaren balikan kok, mbak. Kan sudah minal adzin," cengirnya.
Aku ikut tersenyum. Kulihat lagi Lina yang sedang mengulen adonan cilok. Usia belum kepala dua tapi sudah mau menikah. Muda sekali. Masih polos. Masih alay.
Aku yang dulu bisa dibilang nikah muda ini jelas tidak menyarankan nikah muda. Belum lulus kuliah aku dan suami memutuskan menikah. Tergoda dengan kajian-kajian yang menyegerakan menikah. Hampir aku putus kuliah karena stres skripsi, hamil, dan keuangan yang menipis. Akhirnya sekarang aku dan suami yang sama-sama sarjana teknik kimia ini jadi bakul cilok.
"Habis nikah kan tetap bisa kerja to, Lin. Ngapain berhenti?" Agus dan Lina ini sama-sama masih tetanggaku. Kalau setelah menikah Lina ikut Agus pun seharusnya tidak masalah.
"Maunya ngontrak aja, mbak, berdua di Surabaya," ujarnya penuh harap.
"Emang kerjaannya Agus di Surabaya, ta? Ga PP ae, ta?"
"Belum dapet kerja sih, mbak. Nanti habis nikah baru mau nyari di Surabaya."
Nekat, pikirku. Kalau Lina sih aku tidak ragu dengan kemampuan berjuangnya. Sejak SMP dia sudah bekerja ikut aku dan bisa bayar sekolahnya sendiri. Tapi kalau Agus aku sangsi. Sepengetahuanku Agus anak gung-gungan yang dituruti segala mau oleh orang tuanya. Sudah setahun lulus SMK, kerjanya lebih sering nongkrong di warung kopi sambil main game online daripada cari kerja sungguhan. Padahal orang tuanya tidak bisa dibilang punya uang berlebih. Ayahnya salah satu pedagang cilok yang ambil cilok di tempatku. Ibunya terima cuci baju kiloan.
"Apa ga mending tetep di Sidoarjo? Kan banyak pabrik di Sidoarjo kalo Agus mau cari kerja," usulku.
"Mas Agus ga mau kalau di pabrik, mbak. Ga enak katanya sip-sipan (kerja sistem shift)." Lina menyiapkan panci besar untuk merebus air.
Aku khawatir. Seakan bisa melihat bagaimana hidup Lina nanti kalau benar setelah menikah akan hidup berdua dengan Agus di Surabaya. Terbayang Lina yang banting tulang cari uang sementara Agus tetap sibuk dengan game online-nya.
"Lha terus piye uripmu kalo Agus ga ndang dapet kerja?"
("Lalu bagaimana hidupmu kalau Agus tidak cepat dapat kerja?")
"Ya lihat nanti, mbak," ujarnya pasrah.
"Kamu yakin mau nikah sama Agus padahal sudah tahu Agus ga kerja?"
Lina diam.
"Terakhir kalian putus itu perkara uang juga, kan?"
Lina menatapi air yang belum juga mendidih. Semoga dia bisa berpikir sedikit panjang.
---
Jumlah kata: 427 kata
Comments
Post a Comment