Belum ada setengah enam pagi aku sudah berdiri di depan salah satu warung rokok di Apolo, sebelum pom bensin. Rutinitas senin pagi membawaku kembali menjadi anak kos setelah menghabiskan akhir pekan di rumah. Celana jeans, kemeja panjang, jaket, dan sepatu olahraga adalah seragam wajibku tiap senin. Cukup nyaman dipakai di perjalanan, tapi juga masih pantas kalau dibawa masuk kelas. Maklum, sesampai di Malang aku langsung ke kampus karena ada kelas jam delapan.
Bus tujuan Malang datang. Bus biasa, tanpa AC, sudah hampir penuh. Melihat banyaknya orang yang menunggu bersamaku sepertinya aku tidak akan dapat tempat duduk. Setengah berlari aku meloncat masuk ke dalam bus. Terdesak masuk karena dorongan orang-orang yang ingin naik bus. Benar saja, kursi bus dengan tatanan tiga-dua itu sudah penuh semua. Aku terpaksa berdiri sambil berpegangan di salah satu sandaran bangku. Ransel sudah kugendong depan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.
Bus bergerak perlahan. Penat dengan muatan. Sepertinya pagi ini benar-benar sibuk. Baru kali ini aku naik bus sesesak ini sampai nyaris terhimpit. Tapi ya sudahlah, namanya juga perjuangannya mahasiswa. Kalau ga seperti ini, mana ada ceritanya.
Masuk area Pandaan, pemandangan sawah diselingi pabrik. Atau pabrik yang diselingi sawah? Rasanya setiap hampir setiap bulan ada saja bidang sawah yang diratakan. Entah mau jadi apa. Mungkin pabrik? Ruko? atau malah Perumahan?
Pak kernet berjuang membelah manusia untuk menagih pembayaran. Kuserahkan beberapa lembar rupiah yang sudah kusiapkan. Pas, tidak perlu kembalian. Lalu aku kembali ke pemandangan sawah dan pabrik. Pikiran melanturku terpecah saat aku merasa ada yang menyentuh bokongku. Aku terdiam. Tidak yakin bagaimana harus bereaksi.
Lagi. Aku tolah-toleh. Tidak ada gerak-gerik yang mencurigakan. Mungkin tidak sengaja, pikirku. Toh, kondisi berdesakan begini.
Dan lagi. Tapi kali ini bukan hanya sentuhan lagi. Lebih mirip meraba sambil ditekan. Jantungku berdegup kencang. Aku sendiri bingung harus bagaimana.
Kuturunkan tangan yang sedari tadi memeluk ransel yang kugendong depan. Kupakai tanganku untuk menutupi bokongku sendiri. Kalau orang itu berani pegang-pegang lagi bisa kutangkap tangannya lalu kuteriaki. Begitu rencanaku.
Tapi tidak lama bus masuk terminal Pandaan, banyak penumpang turun dan aku akhirnya bisa dapat kursi. Penumpang baru membanjiri masuk. Aku bernafas sedikit lega, walau sesak aku masih bisa duduk, dan menghindari rabaan tadi.
Aku membenamkan wajah ke ransel. Mencoba menenangkan diri dengan mengatur nafas. Kupeluk ranselku. Debar jantungku masih agak keras efek kejadian barusan. Setelah beberapa saat kuangkat wajahku. Aku baru sadar kalau aku duduk di sebelah ibu-ibu yang tertidur. Di ujung lain mataku aku melihatnya.
Mas-mas tanggung dengan baju salah satu foto paslon pilkada dengan topi hitam meraba bokong mbak-mbak berjilbab lebar. Si mbak kelihatan bingung harus berbuat apa. Sementara muka si mas santai melihat ke arah lain, tapi tangannya gerilya. Aku jadi deg-degan dan misuh dalam hati.
Nekat, kujangkau dan kutepis tangan si mas saat meraba si mbak lagi.
"Heh, Mas, tangannya, ya!" Beberapa orang menoleh ke arah kami.
"Onok opo, mbak?" Kebetulan pak kernet tidak jauh di belakangku.
("Ada apa, mbak?")
("Ada apa, mbak?")
"Iki lo, Pak. Mas e grayah-grayah."
("Ini, Pak. Masnya meraba-raba.")
("Ini, Pak. Masnya meraba-raba.")
"Leh, arek iki maneh. Njaluk dipecel ta?"
("Loh, anak ini lagi. Minta dihajar, ya?")
("Loh, anak ini lagi. Minta dihajar, ya?")
Pak kernet mendorong dan memaksa turun mas-mas tanggung tadi. Kulihat mbak berjilbab lebar itu tersenyum lega dan mengangguk pelan ke arahku. Bus berjalan lagi. Kudengar penumpang berbisik-bisik penasaran dengan kejadian barusan. Ibu-ibu yang duduk di sebelahku masih pulas.
---
Jumlah kata: 526 kata
Comments
Post a Comment