Beberapa minggu yang lalu di lini masa (timeline) Facebook dt berseliweran beberapa cuplikan layar (screenshot) curhatan buk-ibuk di salah satu grup tertutup di Facebook. Berhubung penasaran, jadilah dt gabung. Sekadar pingin lihat sendiri apa iya kebanyakan entrinya seperti cuplikan layar yang dt baca.
Sayangnya, ternyata beneran.
Selain entri kenalan dan berbagi masakan hari ini, curhatan para buk-ibuk ini biasanya berkisar tentang permasalahan ketidakharmonisan rumah tangga (entah dengan suami atau mertua) yang kebanyakan bersumber pada permasalahan finansial. Menurut dt, ini adalah salah satu permasalahan pernikahan yang bisa diminimalisir. Semacam, kalau memang belum stabil secara finansial ya jangan menikah dulu. dt bukan bilang kudu kaya baru boleh nikah lo, ya. Stabil secara finansial. Punya pemasukan tetap yang cukup untuk biaya hidup dua kepala paling tidak, kalau bisa lebih ya alhamdulillah.
dt tetiba inget pernah baca (tapi lupa baca di mana) kalau 70% perceraian ini tipenya gugat cerai alias perceraian karena permintaan istri dengan alasan tertinggi adalah suami tidak mampu menafkahi secara finansial. Berkaca dari curhatan buk-ibuk di grup, kemungkinan besar perceraian-perceraian tadi tipe perceraian "ada uang abang disayang, ga ada uang abang ditendang". Ketidakmampuan finansial di sini biasanya karena suami tidak benar-benar niat kerja atau bahkan tidak bekerja.
Emang kalau perkara duit ini sensitif. Apalagi dengan budaya patriarki yang mengakar di Indonesia, kesuksesan laki-laki biasanya diukur dengan kemampuan mereka dalam menghasilkan uang. Ketidakmampuan menghasilkan pemasukan yang cukup kadang bisa melukai ego mereka sendiri. Memang ada sih beberapa pria yang justru jadi lebih semangat kerja demi memenuhi kebutuhan anak dan istri. Tapi juga ga sedikit yang kalau ditanyain duit belanja malah stres sendiri lalu muthung (ngambek) dan makin malas kerja. Lebih milih habisin pendapatan yang sudah sedikit itu buat ngerokok.
Itu kalau masalahnya cuma duit-duitan suami-istri belum lagi nanti kalau orang tua atau mertua ikutan minta jatah. Karena tahu sendiri, kan, budaya Indonesia kalau anak harus berbakti pada orang tua dan tidak sedikit orang tua yang justru menjadikan "bakti" anak-anak mereka sebagai rencana pensiun mereka. dt yang sebagai anak ini sih dengan senang hari ngramut (merawat) orang tua setelah mereka pensiun nanti karena alhamdulillah masih dikasih rejeki yang cukup sama Gusti Pengeran. Tapi kalau melihat kasus di grup, kalau duit untuk keluarga kecil baru saja ga cukup, bayangkan kalau harus menopang dua atau bahkan empat kepala lagi.
Jadi ikutan stres nih walau cuma berandai-andai.
---
Jumlah kata: 381 kata
Jumlah kata: 381 kata
Comments
Post a Comment